Friday, October 27, 2006

Pernak-pernik i'tikaf

“Kita itikaf yu”
“hayu...ajakin temen-temen yang lain skalian ya”
“sip..malem ini? Mau dimane?”
“ke masjid Habibburahman aje”
:dimana tuh?”
”PT. DI”
“jauh banget, ga yang deket-deket aja”
“contoh?”
“Di pusdai gitu”
“ke Habib aje dah. Enakan”
“emang bedanya apa sih?”

Iya ya....pertanyaan yang bagus. Apa yang ngebuat orang banyak yang tertarik itikaf di masjid Habibburrahman PT. DI ? Sementara saya sendiri sejak tahun lalu memang belum pernah itikaf di tempat selain di habib. Kenapa ga di coba aja...

Malam 27 Ramadhan, Masjid Pusat Dakwah Islam ( Pusdai ) Jawa Barat
Masjid yang megah. Simbol kebesaran syiar Islam di Jawa Barat. Sama halnya dengan masjid besar lainnya, Pusdai pun juga menyelanggarakan program pelayanan itikaf 10 malam terakhir Ramadhan. Emang beda euy rasanya....

Suasana
Memasuki masjid memang dirasakan suasana yang berbeda dengan Habib. Begitu sepi, tenang. Memang kondisi seperti ini lah yang dapat membuat kita merasa lebih khusyuk jika memang ingin berdiam diri di masjid (itikaf = berdiam diri). Tempat beraktivitas untuk akhwat (perempuan) pun dipisahkan di lantai dua, sehingga dapat meminimalisir aktivitas celingak-celinguk para jamaah pria :p
Berbeda dengan kondisi di Habib yang relatif lebih ramai, penuh dan banyak diisi oleh teman-teman yang secara kebetulan kenal dekat dengan kita dan juga teman beraktivitas dengan kita di kampus. Hal ini rada sedikit “mengganggu” proses itikaf karena minimal kita akan say “ hi..” nanya kabar ini, kabar itu dan pastinya hal ini akan memakan waktu yang tidak sedikit, sehingga waktu untuk ber taqarrub Ilallah juga akan sedikit berkurang. Dengan kondisi pusdai yang sepi dan sedikit orang yang mengenal kita, fokus kita untuk beribadah akan menjadi lebih mantep lagi. Temen saya di jakarta ternyata juga menyiasati cara itikaf dengan mencari tempat yang memang jauh dari orang-orang yang kenal dengannya.

Pencahayaan
Ketika di pusdai, mungkin akan lebih sulit jika kita memilih untuk mengisi aktivitas “berdiam diri” dengan memperbanyak tilawah Qur’an. Kenapa sulit? Kondisi pencahayaan ruangan masjid Pusdai menurut saya (tanpa melakukan pengukuran) belum memenuhi standar Lux pencahayaan yang optimal untuk aktivitas membaca. Kondisi yang cukup remang itu mungkin memang cocok sekali untuk menambah kekhusyu’an beribadah, mirip dengan kondisi masjid Salman yang selalu remang juga.
Berbeda dengan Habib yang menyediakan ruang utama yang gelap untuk istirahat dan ruang teras yang terang benderang untuk membaca.

Jam aktivitas
Masjid Pusdai juga memiliki aktivitas menghidupkan sepertiga malam seperti halnya dengan masjid lainnya. Masjid Pusdai mulai membangunkan para mustakifin dibangunkan mulai pukul 1 dini hari. Acara diawali dengan muhasabah selama 1 jam. Memasuki jam 2 dini hari dilanjutkan dengan melakukan shalat tahajud berjamaah hingga pukul 3 dini hari. Saya tidak dapat menghitung banyaknya ayat yang dibaca ketika Shalat malam. Yang saya dapat perkirakan bahwa setiap rakaatnya menghabiskan waktu kira-kira 10 menit. Yang menarik, setelah tahajud ternyata tidak dilanjutkan dengan witir berjamaah. Panitia mempersilahkan masing-masing mutakifin untuk menutup malamnya sendiri-sendiri.
Lain halnya dengan Masjid Habibburahman. Peserta diberikan kesempatan untuk beristirahat (tidur) untuk mempersiapkan aktivitas malam. Kemudian pukul 12.30 malam peserta dibangunkan untuk mengikuti Tahajud berjamaah. Habib memiliki program 10 hari khatam 30 juz, sehingga dapat diperkirakan bahwa setiap harinya program tahajud ini menghabiskan 3 juz Quran. Jumlah yang cukup bikin kaki pegel itu :p dihabiskan hingga pukul 3.30 dini hari sudah termasuk dengan witir 1 Rakaat ditambah doa qunut dan doa lainnya yang cukup panjang. lumayan juga 3 jam berdiri....fiiuuuhh :p

Segmentasi pasar
Masjid Pusdai yang terletak di kota, meski bukan di pusat kota, memiliki segmentasi masyarakat perkotaan yang memiliki budaya kota yang mungkin rada jauh dari “bau-bau” islam. Banyak yang bilang kalo masyarakat kota memiliki nilai individualis yang kental, konsumeristik, modern, meski untuk kesemua hal tersebut saya belum menemukan data yang menguatkan :p pengalaman sehari beritikaf di sana membuat saya kagum dengan pusdai. Kenapa begitu? Karena pada pukul 3 pagi selepas tahajud, saya banyak melihat rombongan-rombongan keluarga yang mencerminkan masyarakat perkotaan tadi :p hehehe. Bukan berniat mengkastakan masyarakat muslim, tetapi saya kagum aja melihat rombongan bapa-bapa, ibu-ibu dengan anak-anaknya dan mungkin juga kerabatnya yang lain bubar meninggalkan masjid masuk ke dalam mobil-mobil mereka dengan kerudung-kerudungnya yang dilepas, dengan sarung-sarungnya yang juga di lepas. Dan saya yakin tentunya mereka habis melaksanakan itikaf di Pusdai :p dan rombongan-rombongan seperti ini tidak sedikit loh. Saya simpulkan, entah bagaimana pengelolaan syiar islam di pusdai, yang jelas mereka berhasil merebut hati jamaah mereka, yang saya kategorikan masyarakat perkotaan tadi, untuk rela beritikaf di masjid jauh dari megahnya rumah mereka, nyamannya rumah mereka, dari empuknya kasur mereka :p
Berbeda dengan di Habib. Sekali lagi, saya tidak ada maksud mengkastakan masyarakat muslim. Saya melihat peserta itikaf di masjid habibburrahman, yang sangat ramai jika malam malam ganjil, memiliki kultur yang homogen. Seperti apa homogennya, entah. Yang jelas, ko saya merasa bahwa kebanyakan pesertanya berasal dari komunitas yang sama :p

Makan sahur
Kedua masjid ini mengelola makan sahur jamaah dengan membuka pemesanan di malam bada tarwih. Yang berbeda, jika kita belum sempat memesan makanan buat sahur, di sekitar masjid banyak yang berjualan nasi yang cocok untuk sahur. Cocok dengan lidah saya dan mungkin juga dengan lidah masyarakat umum. Menu yang dijual yaitu nasi putih, telor ceplok, ayam goreng, ada buncis nya juga, ada tahu, tempe bahkan ada yang menyediakan telur asin. Sementara di pusdai, dengan sedikit terpaksa karena belum sempat memesan dan tidak ada pilihan lain, saya sahur dengan nasi goreng. Kapok dah sahur pake nasi goreng...

Cuma segitu yang bisa saya temukan. Bagaimana dengan itikaf di masjid besar lainnya?masjid istiqlal, Al-Kautsar, Salman, Istiqamah, masjid Agung, masjid balai kota, Daarut Tauhid?atau mungkin di masjid Al-Muhajirin di belakang rumah kami?mudah-mudahan Allah memberikan kita kesempatan bertemu kembali dengan Ramadhan yang suci untuk kembali merasakan mulianya 10 malam terakhir di bulan Ramadhan.

Malam 29 Ramadhan, Masjid Jakarta Islamic Centre, Jakarta Utara
Masjid yang megah, indah. Hebat euy pake eskalator( tangga jalan-red). Maaf norak dikit, tapi emang seumur-umur sejak dibangun Islamic Centre itu, baru pertama kali ini saya kunjungan perdana ke sana meskipun hanya berjarak paling lama 10 menit kalo naik motor dari rumah saya. Dan saya sarankan ketika anda hendak beritikaf disini, pastikan bahwa anda tidak lupa membawa obat nyamuk, entah itu autan, sari puspa, atau mungkin soffel. Anda sudah bisa menebaknya kenapa bukan? Tambahan, kalo perlu bawa banyak sapu tangan atau mungkin handuk kecil yang bisa memeras keringat kita yang bercucuran :p sorry berlebihan, soalnya saya lama di kota yang cukup sejuk, jadi rada gak kuat euy...maaf..maaf...

0 Comments:

Post a Comment

<< Home